Akutakut seperti burung beo itu. Pandai mendzikirkan kalimat thayyibah itu tetapi tidak dalam hati nya, pandai menyebut nama Allah tetapi hanya dibibir saja, pandai mengucapkan doa tetapi tidak tidak menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Ada 4 lilin yang menyala,sedikit demi sedikt meleleh. suasana begitu sunyi sehingga terdengarlah
HomeBukuSosial PolitikBuku BiografiAtur jumlah dan catatanMengapa Aku Begitu PandaiKondisi BaruMin. Pemesanan 1 BuahEtalase SejarahSerial Buku Kecil Ide Besar menghadirkan gagasan-gagasan besar yang mengguncang atau unik dan autentik dari para penulis terbaik dunia. Pikiran-pikiran mereka bergema panjang, dan menginspirasi generasi demi generasi di pelbagai masa. Kami sajikan dalam format buku kecil yang ciamik, yang mudah dibawa ke mana-mana, dan bisa dibaca dalam dua atau tiga kali duduk di stasiun atau di bandara atau di mana buku tipis ini kita akan menemukan Nietzsche yang bertanya dan menjawab sendiri pertanyaannya dalam narasi-narasi sastrawi, dilanjutkan dengan aforisme-aforisme yang menjadi ciri khasnya deret proposisi padat yang berpotensi menimbulkan pertanyaan panjang dalam imajinasi pembaca, proposisi-proposisi yang mengutip Milan Kundera, merupakan salah satu dari enam karya yang lahir pada masa kematangan Nietzsche.=======Judul Mengapa Aku Begitu PandaiPenulis Friedrich NietzschePenerbit CircaHarga Rp buku silakan kontak WA 08995419354Ada masalah dengan produk ini?ULASAN PEMBELI
Akuakan meninggalkan kamu? Aku tidak ingin kamu yang hebat, kalau kehebatan itu kita menjadi bersaing-saingan. Karena itu semua lahir dari ide tentang peran-peran. Ide yang sangat tidak aku sukai. Aku tidak perduli apakah kamu lebih hebat dari aku atau tidak. Apakah kamu harus lebih mengungguli aku karena kamu lelakiku. Aku ingin QQ seperti
Belum lama ini aku berdiri di jembatan itu di malam berwarna cokelat. Dari kejauhan terdengar sebuah lagu Setetes emas, ia mengembang Memenuhi permukaan yang bergetar. Gondola, cahaya, musik— mabuk ia berenang ke kemurungan … jiwaku, instrumen berdawai, dijamah tangan tak kasatmata menyanyi untuk dirinya sendiri menjawab lagu gondola, dan bergetar karena kebahagiaan berkelap-kelip. —Adakah yang mendengarkan? dalam Ecce Homo Kepandaian Nietzsche dikatakan Setyo Wibowo, seorang pakar Nitzsche, bukanlah hal mudah. Ia menyebut kepandaian Nietzsche berkorelasi dengan rasa kasihannya kepada orang-orang. Nietzsche khawatir jika ada orang mengetahui kepandaiannya berarti betapa sengsaranya orang itu. Orang yang memahami pemikiran Nietzche berarti selevel dengan dirinya. Berarti mengalami betapa getirnya pengalaman hidup Nietzsche yang berat dan kelam. Bagi Nietzsche pemikirannya bukan untuk diketahui. Biarlah ia sendiri yang paham tentang gagasannya, dirinya sendiri. Dengan begitu cukup ia yang menanggung sengsara. Tapi, jika ada orang yang berani masuk lebih jauh ke dalam pemikirannya, dan berusaha memahami sepenuhnya, maka betapa kasihannya orang itu. Kata Nietzsche, ia –orang itu—sama beratnya dengan dirinya. Sama pedihnya dengan Nietzsche. Bukankah setiap pemikiran dituliskan demi diketahui khalayak? Bukankah setiap gagasan si pemikir memiliki maksud mencerahkan pembacanya? Lalu dalam kasus Nietzsche untuk apa pikiran-pikirannya ia tulis? Bukankah setidak-tidaknya itu berarti ada sesuatu yang ia ingin sampaikan? Ada pesan yang ingin ia ungkapkan? Paradoks memang. Lama saya mengetahui penjelasan Setyo Wibowo di atas. Nietzsche bukanlah filsuf biasa. Ia filsuf cum sastrawan. Ia pemikir dan perasa sekaligus. Dari kacamata ini, saya pelan-pelan mengerti, membaca pemikiran Nietszche berarti sekaligus memahami dirinya. Ikut –jika memungkinkan—setidaknya sebagian perjalanan hidupnya. Itu berarti ikut menjiwai apa-apa yang ia alami selama hidupnya. Itulah sebabnya, pendekatan untuk memahami Nietzsche agak berbeda dengan pemikir lainnya. Jika pemikir lainnya cukup kita mengetahui aspek biografis dengan cara membacanya, dengan Nietzche tidak cukup hanya itu. Kita –setidaknya bagi saya—dituntut untuk ikut menyelami dunia pengalaman-perasaan dirinya. Sejenis praktik hermeunetik. Dari situlah kita akhirnya berisiko seperti dikatakan Setyo Wibowo di atas. Harus rela merasakan bagaimana beratnya pengalaman hidup Nietzsche. Pemikiran yang mendarahdaging dengan aspek-aspek perasaannya, atau perasaan yang beruratakar dengan pikirannya. Mengerti pemikirannya juga mesti merasakan pergulatan batinnya. Menurut saya dengan cara itulah kita bisa menyerap inti sari gagasan Nietzsche yang rumit dan berlapis-lapis itu. Nietzsche adalah filsuf dengan kehidupan yang terputus-putus. Melalui buku Gaya Filsafat Nietzsche, Romo Setyo Wibowo menyebutnya keterputusan-keterputusan relasi. Pengalaman hidup ini ditandai dengan cara hidup Nietzsche yang nomaden. Ia hidup selayaknya seorang pengembara, dari satu tempat ke tempat lain tanpa pernah bermukim lama. Kata Romo Setyo dalam buku yang sama, keterputusan yang paling fundamental dialami Nietzche adalah perpisahannya dengan iman kristiani. Keterputusan ini kontan membuatnya terpisah dari tradisi kristiani yang dirawat oleh keluarga besarnya. Kedua, dia putus dengan tempatnya mengabdikan diri sebagai dosen; Universitas. Sebagai seorang filolog ia ditolak lantaran terlalu filosofis dalam menerapkan pendekatan filologis. Terputusnya dari universitas sekaligus menjauhkannya dari komunitas intelektual pada waktu itu. Ketiga, lantaran kesehatannya yang memburuk, membuat Nistzsche terputus dari kehidupan normal. Ia mesti menjalani kehidupan yang sama sekali berbeda dari orang sehat. Bahkan untuk memenuhi kebutuhannya menghirup udara, ia mesti mencari tempat yang cocok bagi dirinya. Keempat, konsekuensi dari cara hidupnya yang nomaden, secara afeksi membuatnya jauh dari lingkungan pergaulan. Pola hidup yang nomaden membuat ia tak mampu memiliki relasi pertemanan yang bertahan lama. Lebih dari itu, bahkan untuk membina keluarga pun sulit karena cara hidup yang demikian tak menentu. Berkat cara hidupnya ini Nietzsche menjadi filsuf soliter. Ia menjadi pribadi unik yang ditempa kesendirian. Bahkan sebelum masuk masa kegilaannya, ia sudah didera penyakit yang pelan-pelan menggerogoti tubuhnya dari dalam. Dahsyatnya, dan inilah yang membuatnya sebagai pribadi unggul. Dalam keadaan sakit itulah ia justru produktif secara pemikiran dan intuitif. Banyak melahirkan karya-karya monumental melalui penghayatannya secara kontemplatif. Mengapa Aku Begitu Pandai adalah sebuah solikokui yang demikian panjang dari Nietzsche untuk Nietzsche. Dia bertanya kemudian dijawabnya dengan cara sendiri dan dari pikirannya yang demikian origin. Ibarat cermin, Nietzsche dengan cara ini sedang menguji seberapa mungkinkah ia mampu menemukan ”jawaban-jawaban” dari dirinya sendiri. ”Bagaimana mencukupi kebutuhan makan dirimu sendiri untuk mencapai puncak kekuatanmu, mencapai virtŭ dalam gaya Renaisans, kebajikan bebas moralin?” Virtu adalah keutamaan yang diandaikan Nietzsche sebagai ciri khas manusia. Namun, walaupun begitu ia mesti ditemukan di dalam pencarian yang kadang demikian sulit. Kadang manusia terjebak ke dalam pragmatisme dengan mengidefixkan pakem-pakem nilai agar kehidupan menjadi lebih praktis dan mudah. Ideologi, agama, moral, filsafat, sains, politik, dan pakem-pakem semacamnya adalah idefix yang ditolak Nietzsche karena terlalu mengkerdilkan kehidupan. Virtu harusnya selaras dengan esensi kehidupan yang sebenarnya chaos. Bukan berhenti di dalam nilai-nilai yang diidealisasi dan melihat dunia dalam keadaan harmoni dan tetap. Dunia adalah suatu kemenjadian tanpa ujung. Manusia harus menggunakan virtunya agar dapat ikut menjadi. Berkata “ya” kepada dunia yang terus bergerak. Dengan kata lain, di dalam dunia yang bergerak, “kedisinian” adalah satu-satunya kenyataan yang menopang diri. Esok dan masa lalu hanyalah idealisasi yang tidak memiliki dasar eksistensi sama sekali. Manusia mesti mencitai nasibnya sendiri. Di sini dan sekarang. ”Rumusanku bagi kebesaran dalam seseorang manusia adalah amor fati bahwa orang tidak menginginkan menjadi selain seperti saat ini, bukan di masa depan, bukan di masa lalu, bukan dalam seluruh kekekalan. Bukan hanya menanggung apa yang terjadi karena keharusan, apalagi membuyarkannya—semua idealisme adalah ketidakbenaran di hadapan keharusan—melainkan untuk mencintainya…” Akhir kata, membaca teks-teks Nietzsche ibarat berhadapan dengan sebuah labirin. Banyak kelolakan dan jalan buntu yang sulit ditaklukkan. Itulah sebabnya, dengan nada khas selfishnya, ia mengatakan “Mengapa Aku Begitu Pandai?” Akumalu menjadi anakmu, sungguh aku malu. Aku tak tahu mengapa Allah mentakdirkanku menjadi anakmu? Apa maksud Allah? Allah begitu baik dan sayang pada diriku karena telah memberikan sosok lelaki yang begitu tangguh, sosok lelaki yang begitu baik, pintar, dan apa saja yang ada pada dirimu itu sangat mengagumkan bagi ku, mungkin bagi orang-orang yang Ah meu amor eu não sei o que te fez regressarSe foi meu pranto de dor ou meu patuáO teu perdão, meu pai oxaláOu veio um amigo do peito te aconselharAh meu amor quantas noites por aí eu vagueiTemplos, terreiros, igrejas, eu visiteiAté com Deus, ah eu me zangueiE eu que não sou de blasfemar, blasfemeiFui jogar flores nas ondas do marPedindo você pra iemanjáAndei errante, tentei cartomanteBusquei um babalaôDei pra rezar, joguei tarôTudo pra você voltarAh meu amor renasci quando revi teu olharRindo, trazendo um perdão pra me perdoarEu te abracei, te rodopieiE eu que nunca fui de chorar, chorei Awalnya matamu dan senyummu tak berarti apa-apa bagiku. Sapa lembutmu, tutur katamu, bukan menjadi alasan senyumku setiap harinya. Semua mengalir begitu saja, kita tertawa bersama, kita menghabiskan waktu bersama, tanpa tahu bahwa cinta diam-diam menyergap dan menyeringai santai dibalik punggungmu dan punggungku. Diskon4% Untuk Pembelian Produk Mengapa Aku Begitu Pandai-Friedrich Nietzsche di Lapak Warung Buku. Pengiriman cepat Pembayaran 100% tKiK8mI.
  • flkp2q5u5v.pages.dev/274
  • flkp2q5u5v.pages.dev/26
  • flkp2q5u5v.pages.dev/108
  • flkp2q5u5v.pages.dev/145
  • flkp2q5u5v.pages.dev/236
  • flkp2q5u5v.pages.dev/220
  • flkp2q5u5v.pages.dev/124
  • flkp2q5u5v.pages.dev/33
  • flkp2q5u5v.pages.dev/222
  • mengapa aku begitu pandai